Transgender & Dilema Identitas sebagai Perempuan

Sebagian besar dari kita pasti pernah akrab dengan mereka yang memakai make up mencolok, bibir merah merekah, rok terbuka dengan sobekan sampai pangkal paha, ditambah dengan baju tanpa lengan dengan otot-otot kuat transparan. Sampai hari ini saya masih tidak berhenti heran ketika melihat mereka secara langsung. Mencoba untuk open minded dengan tidak memberikan komen atau candaan menyinggung.

Doc: Youtube
Beberapa transgender Indonesia seperti Lucinta Luna, Millen Cyrus, Dena Rachman, Oscar Lawalata dan teman-temannya sering menjadi bahan obrolan saya dan beberapa sahabat ketika melihat mereka wara-wiri di akun sosial media kami. Beberapa perspektif muncul mulai dari pertimbangan dari segi agama, moralitas hingga latar belakang mereka  memilih jalan menjadi seorang transgender. Lagi-lagi mereka tidak membenarkan hanya saja terbersit rasa empati yang besar karena bisa jadi mereka berkulat dengan diri sendiri dengan kondisi jiwa dan raga yang berbeda amatlah sulit.

Doc: Google
Jika diperhatikan mereka sering sekali menjadi bahan ejekan dan lelucon masyarakat. Sasaran bully-an empuk bak bantal di atas kasur yang siap ditiduri. “Bencong....bencoong bencoong… bencoong.” Kata-kata yang sering saya dengar diteriakan kepada mereka. Terkadang mereka terlihat menikmati bully-an itu dan sesekali melempar senyum tipis namun, tidak jarang terjadi baku hantam jika merasa olok-olokan itu sudah di luar batas wajar.

Transgender atau waria adalah laki-laki yang ingin sekali diakui, dilihat, dihargai layaknya perempuan seutuhnya. Terlihat dari cara berdandan, bertutur hingga dambaan akan laki-laki tulen yang baik dan setia. Seperti hasrat perempuan pada umumnya. Namun, Apakah mereka bisa disebut sebagai perempuan seutuhnya? Sanggupkah mereka mendefinisikan diri sebagai seorang perempuan tanpa ragu terhadap diri mereka yang lahir dengan nature berbeda.

Sebuah potongan video di TikTok mengantar saya pada sebuah film dokumenter berjudul "What Is a Woman?” besutan Matt Walsh salah satu penulis sekaligus aktivis- anti LGBTQ sayap kanan America. Film ini banyak memperlihatkan bagaimana Mr. Matt Walsh mewawancarai para transgender di Amerika Serikat kemudian mempertanyakan dasar mereka menyebut diri mereka sebagai seorang perempuan.

Doc: Youtube
Saya pikir Mr. Matt tidak banyak menemukan jawaban memuaskan karena rata-rata jawaban mereka atas dasar perjalanan dan pengalaman pribadi. Apa sebenarnya yang dicari pria 37 tahun ini? Mengapa ia sangat menentang transgenderism?  Kebenaran apa yang sedang diperjuangkan? Untuk apa dan Siapa? Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul di dalam kepala saya ketika melihat video dirinya begitu gigih menyatakan bahwa transgender tidak bisa disebut sebagai seorang perempuan dan gender ideology merupakan penolakan terhadap kebenaran atau rejection of the truth.

Matt menyebut bahwa speak up melawan transgenderism merupakan dukungan akhir terhadap western civilization dan dia lebih mati daripada harus berhenti menyuarakan issue ini. Saya pikir ia memikirkan nasib anak-anak di Amerika dan di Eropa yang mulai kebingungan di sekolah atas pemberlakuan toilet netral. Anak-anak perempuan bisa menjadi laki-laki dan laki-laki bisa menjadi perempuan. Entahlah saya pun membaca berita ini sedikit bingung dan heran ditambah karena posis saya sebagai orang timur. Dari film ini saya harus belajar secara clear mendefiniskan diri sebagai seorang perempuan jujur saya pun masih merasa kebingungan. Saya pikir jawaban normative perbedaan genetik seperti kromosom XY pada laki-laki dan X (XX) pada perempuan dan ciri fisik lainnya perlu kita kembangkan kembali.

Apapun definisi kamu tentang seorang perempuan ? Pastikan jawaban itu sesuai dengan apa yang kamu percaya.

Post a Comment

0 Comments