Menyadari setelah berusia 25 tahun saya sering merasa cemas dan overthinking akan sesuatu hal. Khawatir berlebih terhadap sesuatu yang sebenarnya belum tentu terjadi. Misalnya, dulu sebelum bertemu dan kenal orang baru kepala saya kerap dipenuhi rasa curiga. Apakah orang ini baik? Bagaimana orang ini menilai saya? Apa yang dia mau? Tuluskah dia atau tidak? Apakah saya terlihat keren? Bisakah kami nyambung atau tidak saat mengobrol dan lain-lain. Saya selalu fokus membangun image untuk selalu terlihat baik.
Selain itu saya juga mudah tersinggung, emosi dan sensi (contoh sederhana jika mendengar ceramah yang isinya tidak sesuai dengan cara pandang saya, entah mengapa tiba-tiba saya sering sakit hati dan sensi seharian apalagi jika mereka membahas topik sensitif tentang perempuan (poligami, mandul, keluhan service di ranjang dsb). Rasa-rasanya saya ingin bertemu penceramah itu dan ingin berkelahi. Kedewasaan menerima cara pandang berbeda masih sangat rendah saat itu. Parahnya pernah berkonflik hanya karena perbedaan pandangan politik. Secara langsung satu sama lain kami keras saling menghakimi.
Lama-kelamaan kondisi ini membuat saya merasa buruk. Asas berpikir demokratis, rasionalis, free thinking, humanis yang saya junjung tinggi tidak mampu saya terapkan secara baik walaupun pada dasarnya saya pribadi memiliki pembawaan apa adanya atau dalam bahasa Sasak disebut "jamaq-jamaq." Harusnya sifat ini membuat saya lebih relax jika dihadapkan pada sesuatu hal yang memang berada di luar kontrol. Padahal sedari kecil ibu saya sering menyebut kata "jamaq-jamaq" untuk menggambarkan seseorang yang memiliki perangai baik. "ye jamaq-jamaq manusiene". (manusia baik dan apa adanya). Ibu saya juga berpesan saat kamu menjadi "apa adanya" kamu tidak akan pernah merasa kecil atau merasa lebih dari yang lain karena Tuhan memuliakan perangai ini.
Sering terlihat ceria dan cuek bukan sebuah jaminan kondisi pikiran itu selalu baik. Kebiasan buruk harus bisa lebih bahagia dari orang lain ternyata adalah sebuah kelemahan diri yang terus saya denial. Bersyukur tidak sampai ke psikiater karena saya terus berusaha membiasakan diri melakukan refleksi, meditasi hingga mengenal emosi lebih jauh demi menjaga kestabilan mental, terutama menyambut gerbang 30+. Mengapa 30 plus? Ujian hidup itu terasa keras sampai ke tulang.
Thanks to God masih berusaha meyakinkan diri bahwa dalam berproses rasa takut, khawatir, insecure, emosian, cemas dan lain-lain memang harus ada untuk membantu kita tumbuh sebagai seorang manusia. Yang paling penting adalah how to deal with our mind when we have those negative feelings because at the end of the day, we believe that we're only the one who understand us better than anyone else. Dalam melewati proses tersebut puji syukur saya berjodoh dengan FILOSOFI TERAS. Ajaran Zeno sampai ke tempat tidur melalui buku Henry Manampiring yang dipinjamkan permanen oleh seorang sahabat tersayang. Buku ini populer dan diterbitkan oleh Kompas pada tahun 2019 dan masuk National Best Seller, menggandeng Levina Lesmana sebagai ilustrator tampilan buku ini terlihat apik dan kekinian.
Sedikit Ulasan Tentang Stoikisme
Stoikisme merupakan ajaran dari seorang pedagang kaya dari Siprus (sebuah pulau di Selatan Turki) bernama Zeno sekitar 2.300 tahun lalu. Dalam perjalanannya ke Athena Zeno kemudian sering mengajar di teras berpilar yang disebut dengan Stoa, persis di sisi Utara Agora (alun-alun kota Yunani kuno). Diksi Filosofi Teras digunakan untuk memudahkan pembaca memahami ajaran Stoikisme.
Lepas dari Zeno, ajaran filsafat ini diteruskan dan dikembangkan oleh beberapa filsuf Yunani dan Romawi seperti Cato, Chrysippus, Lucius Seneca, Musonius Rufus, Epitectus, Marcus Aurelius, yang merupakan salah satu dari Lima Kaisar yang baik (The Five Good Emperors). Setelah membaca buku ini saya merasa ajaran ini tidak rumit dan begitu practical dalam mengatasi kegelisahan-kegelisahan yang selama ini saya alami. Alam bawah sadar auto ter-setting ulang. Saya sepakat bahwa memang segala pikiran-pikiran negatif itu memang bersumber dari penilaian yang kurang tepat atau salah. Booom benar sekali karena apa yang kita pikirkan belum tentu sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi. Pikiran kacau perasaan tidak terkendali alhasil emosi-emosi negatif meluap dan sangat mengganggu!
Dari buku ini kita belajar bahwa sesuatu di luar kontrol kita tidak perlu kita khawatirkan secara berlebihan atau pusingkan karena sebenarnya kita memiliki kontrol penuh untuk mengendalikan pikiran kita dan itu semua terserah kita.
0 Comments